Translate

Daftar Blog Saya

29 Oktober 2025

Dr. Herman Hofi Munawar: UU Pers Lex Specialis, Kriminalisasi Wartawan Melanggar Hukum


Pontianak, 28 Oktober 2025 - Pengamat kebijakan publik Dr. Herman Hofi Munawar, SH menegaskan bahwa Indonesia merupakan rechstaat (negara hukum), bukan machtsstaat (negara yang bertumpu pada kekuasaan). Karena itu, keputusan dalam penegakan hukum harus berdasar pada aturan perundang-undangan, bukan tekanan atau pesanan pihak tertentu.


Dr. Herman menjelaskan bahwa dalam perspektif rechstaat, posisi jurnalis sangat penting dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Aktivitas jurnalistik beserta produk beritanya dilindungi oleh Undang-Undang Pers.


“Secara tegas dapat kita katakan bahwa wartawan tidak bisa dipidana atas produk jurnalistik yang dibuatnya, selama produk itu memenuhi kaidah jurnalistik,” tegas Dr. Herman.


Ia menambahkan, apabila terdapat keberatan atau sengketa terhadap suatu pemberitaan, penyelesaiannya harus ditempuh melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), bukan langsung melalui delik aduan pidana.


Menurutnya, UU Pers merupakan lex specialis, artinya hukum yang bersifat khusus dan harus didahulukan dibanding aturan hukum lain seperti KUHP atau UU ITE bila permasalahan berkaitan dengan produk jurnalistik.


“UU Pers adalah hukum khusus. Jika terjadi persoalan yang berkaitan dengan produk jurnalistik, maka pendekatan penyelesaiannya harus melalui UU Pers terlebih dahulu,” ujarnya.


Dr. Herman merinci ketentuan perlindungan hukum tersebut:


Pasal 8 UU Pers memberikan jaminan perlindungan hukum kepada wartawan dalam menjalankan profesinya.


Pasal 5 UU Pers memberikan mekanisme penyelesaian sengketa melalui hak jawab dan hak koreksi, jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan.


“Dengan demikian, proses sengketa media diselesaikan melalui mekanisme pers, bukan kriminalisasi,” tambahnya.


Dr. Herman kembali menegaskan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada wartawan yang menjalankan tugas sesuai Kode Etik Jurnalistik serta bekerja pada media yang terverifikasi Dewan Pers.


“Wartawan mendapat perlindungan UU Pers selama mereka menjalankan tugas secara profesional dan sesuai Kode Etik Jurnalistik,” jelasnya.


Ia menerangkan bahwa UU ITE memiliki domain berbeda. UU ITE mengatur perilaku dan konten di ruang siber secara luas, sementara UU Pers hanya mengatur proses dan produk jurnalistik.


Dalam praktiknya, ketika wartawan dilaporkan ke kepolisian oleh pihak yang merasa dirugikan, penyidik biasanya menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE, khususnya:


Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) UU ITE

Mengenai penyebaran berita bohong atau menyesatkan yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik.


Namun, Dr. Herman mengingatkan bahwa penerapan UU ITE tersebut tidak dapat digunakan apabila objek perkaranya adalah produk jurnalistik.


“Jika itu produk jurnalistik, maka tidak bisa dipidana dengan UU ITE maupun KUHP. Mekanismenya tetap melalui UU Pers,” tegasnya.


Dr. Herman menutup keterangannya dengan pesan bahwa negara hukum menuntut kepastian dan keberpihakan pada aturan yang berlaku, bukan tekanan kekuasaan.


“Indonesia adalah rechstaat. Hukum yang harus menjadi panglima, bukan kekuasaan apalagi pesanan,” pungkasnya.


Sumber:

Dr. Herman Hofi Munawar, SH - Pengamat Kebijakan Publik